oleh

Menata Ulang Peran Polri di Era Astacita

Oleh: Dr. Bachtiar, S.H,M.H

PENGAJAR Hukum Tata Negara FH UNPAM
Setiap tanggal 1 Juli, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) memperingati Hari Bhayangkara sebagai momen refleksi nasional. Momentum ini bukan semata seremoni memperingati kelahiran institusi kepolisian, melainkan menjadi titik penting untuk mengevaluasi ulang peran, capaian, dan arah strategis Polri dalam menghadapi kompleksitas tantangan kebangsaan. Hari Bhayangkara adalah ruang introspeksi institusional: sejauh mana Polri telah mengaktualisasikan mandat konstitusionalnya sebagai alat negara yang profesional, berintegritas, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Lebih dari itu, peringatan ini menjadi pengingat akan janji dasar Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat serta penegak hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia. Di tengah dinamika sosial, politik, dan teknologi yang terus berkembang, Polri dituntut tidak hanya responsif terhadap gangguan keamanan, tetapi juga adaptif, humanis, serta akuntabel dalam setiap tindakan. Kepercayaan publik adalah modal utama yang harus terus dipelihara dan ditingkatkan.

Tahun 2025 memberi makna tersendiri bagi peringatan Hari Bhayangkara. Peringatan ini berlangsung dalam konteks transisi pasca-Pemilu 2024 dan awal pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Di tengah bergulirnya arah baru pembangunan nasional sebagaimana dirumuskan dalam delapan agenda prioritas (Astacita), posisi Polri menjadi semakin strategis, bukan lagi sekadar sebagai aparat keamanan, melainkan sebagai salah satu pilar utama penopang demokrasi, ketertiban sosial, dan keberhasilan transformasi bangsa.

Dalam realitas sosial-politik yang terus bergerak cepat, dan di tengah disrupsi teknologi yang mengubah lanskap keamanan dan pelayanan publik, Polri dihadapkan pada tantangan untuk terus beradaptasi, membangun profesionalisme, serta meneguhkan komitmen pada prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan keberpihakan terhadap rakyat. Hari Bhayangkara, dalam konteks ini, bukan sekadar peringatan seremonial, melainkan momentum strategis untuk memperkuat legitimasi moral dan institusional Polri di tengah ekspektasi publik yang kian tinggi.

Mengawal Agenda Besar Bangsa

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah menetapkan delapan agenda prioritas pembangunan nasional (Astacita) sebagai arah pembangunan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Dalam konteks ini, peran Polri menjadi sangat strategis, bukan semata sebagai aparat keamanan, tetapi sebagai elemen penting dalam menopang stabilitas demokrasi dan keberhasilan transformasi bangsa.

Untuk mengawal agenda besar ini, diperlukan tiga prasyarat utama: stabilitas sosial-politik yang terjaga, kepercayaan publik terhadap institusi negara, serta birokrasi keamanan yang profesional dan netral. Ketiganya menjadi fondasi yang menentukan sejauh mana Polri mampu berkontribusi terhadap tata kelola pemerintahan yang demokratis, efektif, dan inklusif.

Pilar pertama adalah stabilitas, namun bukan stabilitas yang dibangun atas represi, melainkan yang menjamin kebebasan sipil dan ruang partisipasi publik. Di sinilah Polri dituntut untuk memainkan peran kunci: menjaga keamanan tanpa menciptakan ketakutan, menegakkan hukum tanpa menindas, serta melindungi warga tanpa pamrih politik. Dalam konteks demokrasi, stabilitas sejati adalah stabilitas yang memungkinkan ruang kritik, kebebasan pers, dan partisipasi rakyat. Polri harus mengedepankan pendekatan preventif dan humanis, serta memastikan bahwa penggunaan kekuatan senantiasa proporsional dan berlandaskan hak asasi manusia. Dengan demikian, kehadiran Polri dirasakan sebagai pelayan publik, bukan semata alat negara.

Pilar kedua adalah reformasi kelembagaan yang mendalam. Legitimasi Polri tidak dapat bertumpu hanya pada prestasi operasional atau simbol-simbol formal. Ia harus dibangun melalui transformasi struktural dan kultural yang menyentuh akar masalah: sistem rekrutmen yang transparan dan meritokratis, pelatihan berbasis HAM, penguatan pengawasan internal, serta pemisahan tegas antara fungsi penegakan hukum dan keamanan.

Transparansi informasi dan keterbukaan terhadap pengawasan publik juga harus menjadi standar baru. Dalam negara demokratis, partisipasi masyarakat dalam mengawasi institusi bukanlah gangguan, melainkan mitra strategis. Ketika Polri secara sadar membuka diri untuk diawasi, kepercayaan publik tumbuh secara otentik dan berkelanjutan.

Pilar ketiga adalah komitmen Polri sebagai penjaga demokrasi dan mitra pembangunan. Netralitas institusional, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada, menjadi ujian nyata bagi keberpihakan Polri pada konstitusi dan rakyat. Netralitas bukan sekadar slogan, tetapi harus menjadi prinsip yang diinternalisasi dalam setiap lini organisasi: mulai dari pembinaan anggota hingga mekanisme penindakan terhadap pelanggaran. Di sisi lain, Polri juga bertanggung jawab menciptakan iklim keamanan yang kondusif bagi pembangunan, menjaga stabilitas sosial, mendukung investasi, dan merespons ancaman digital yang terus berkembang.

Peran Strategis Polri

Dalam upaya mewujudkan delapan agenda prioritas nasional (Astacita) pemerintahan Prabowo–Gibran, Polri memegang peran yang sangat strategis. Peran ini dijalankan melalui tiga pendekatan utama, yakni menjaga netralitas dan profesionalisme dalam dinamika politik, mempercepat transformasi digital dalam pelayanan dan penegakan hukum, serta memperkuat pendekatan keamanan berbasis komunitas (Polmas).

Pertama, menjaga netralitas dan profesionalisme sebagai aktor non-partisan dalam dinamika politik nasional. Pemilu 2024 telah menunjukkan bahwa netralitas aparat sangat menentukan legitimasi hasil demokrasi. Dalam lima tahun ke depan, dengan adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal (dampak Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024), tantangan bagi Polri dalam menjaga netralitas tetap besar, terutama dalam konteks relasi horizontal dan vertikal di daerah. Polri harus menjadi teladan dalam menjunjung tinggi supremasi sipil dan etika pelayanan publik, serta memastikan bahwa seluruh anggota berada di luar pengaruh kekuasaan politik.
Kedua, mendorong transformasi digital dan adaptasi teknologi informasi dalam penegakan hukum dan pelayanan masyarakat, dalam kerangka agenda Astacita. Polri perlu mempercepat pengembangan sistem digital kepolisian – baik dalam pengaduan publik, patroli siber, manajemen lalu lintas, hingga sistem informasi penegakan hukum yang terintegrasi dan transparan. Kemampuan Polri dalam menghadapi tantangan kejahatan digital, termasuk hoaks politik dan ancaman siber, akan menjadi indikator utama efektivitas dan relevansi institusi ini di era digital. Digitalisasi bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang membangun sistem kerja yang efisien, terbuka, dan partisipatif.

Ketiga, memperkuat kembali fungsi Polisi Masyarakat (Polmas) dan membangun pendekatan keamanan yang berbasis komunitas. Pendekatan keamanan berbasis komunitas menjadi kebutuhan utama dalam menghadapi ketimpangan sosial, urbanisasi, dan potensi konflik horizontal. Polri harus hadir tidak hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai mitra masyarakat. Program pembinaan, kehadiran aktif di ruang sosial, serta penyelesaian konflik akar rumput harus diprioritaskan. Dengan membangun hubungan yang dialogis dan partisipatif, Polri dapat menguatkan fungsi pencegahan dan membentuk kehadiran yang membangun kepercayaan publik.

Melalui tiga pendekatan tersebut, Polri bukan hanya menjadi pelaksana tugas keamanan, tetapi juga aktor utama dalam arsitektur tata kelola pemerintahan yang demokratis dan responsif. Dalam era baru pemerintahan yang menekankan percepatan pembangunan dan stabilitas nasional, posisi Polri semakin strategis sebagai jembatan antara negara dan warga negara.

Polri harus menunjukkan bahwa profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas bukan sekadar jargon, melainkan nilai yang hidup dalam setiap tindakan. Keberhasilan institusi ini tidak cukup diukur dari jumlah kasus yang ditangani, tetapi dari seberapa besar kehadirannya menghadirkan rasa aman, keadilan, dan kepercayaan di tengah masyarakat. Ketika Polri mampu menjadi pelindung masyarakat yang adil dan humanis, maka ia telah menjalankan tugas konstitusionalnya secara paripurna – dan dengan itu, memperkuat legitimasi negara di mata rakyatnya.

Menatap Masa Depan Institusi

Menatap masa depan, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dihadapkan pada tantangan yang jauh melampaui aspek teknis dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Tantangan terbesar institusi ini justru terletak pada upaya membangun kredibilitas kelembagaan secara menyeluruh. Di tengah era keterbukaan dan partisipasi publik yang semakin tinggi, kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi fondasi utama dari legitimasi institusional.

Sayangnya, kepercayaan ini masih fluktuatif – mudah tergerus oleh kasus pelanggaran etik, tindakan represif yang tidak proporsional, serta budaya birokrasi yang tertutup terhadap kritik dan minim akuntabilitas. Ketika aparat hukum lebih menjadi sumber ketakutan daripada rasa aman, maka jarak antara negara dan rakyat pun semakin melebar.

Dalam situasi demikian, reformasi internal Polri merupakan keniscayaan yang tidak boleh ditunda. Reformasi tidak cukup menyasar aspek struktural seperti pembenahan organisasi atau pemisahan fungsi penegakan hukum dan keamanan. Yang lebih fundamental adalah reformasi kultural, yakni perubahan paradigma, nilai, dan perilaku dalam tubuh kepolisian. Budaya antikritik harus ditinggalkan, digantikan dengan keterbukaan terhadap evaluasi publik. Etos pelayanan harus lebih menonjol dibanding mentalitas kekuasaan. Polri harus menjadi institusi yang tidak hanya andal dalam penegakan hukum, tetapi juga rendah hati dalam menerima koreksi sebagai bagian dari perbaikan berkelanjutan.

Profesionalisme Polri tidak boleh berjalan sendiri, melainkan harus bersanding dengan integritas moral. Aparat yang hanya unggul dalam aspek teknis tanpa nilai etik hanya akan melahirkan penegakan hukum yang kering dan mekanistik. Sebaliknya, aparat yang profesional sekaligus bermoral akan memahami bahwa setiap keputusan dan tindakan hukum berdampak langsung pada kehidupan masyarakat—maka harus dilakukan dengan adil, transparan, dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Integritas juga menuntut keberanian untuk melawan penyimpangan dari dalam tubuh institusi sendiri. Tidak boleh ada toleransi terhadap korupsi, keberpihakan politik praktis, atau penyalahgunaan kekuasaan. Reformasi menyeluruh harus mencakup pembenahan sistem rekrutmen berbasis meritokrasi, pelatihan berbasis hak asasi manusia, manajemen karier yang transparan dan adil, serta keterbukaan informasi publik sebagai bagian dari pelayanan, bukan ancaman. Polri juga harus menerima partisipasi masyarakat dalam pengawasan sebagai mitra strategis, bukan sebagai gangguan kelembagaan.

Lebih jauh, Polri perlu mendefinisikan ulang perannya dalam negara demokrasi modern. Tidak cukup hanya sebagai penjaga ketertiban umum, Polri harus menjadi penjamin keadilan sosial dan penjaga demokrasi yang sehat. Dalam kerangka Astacita pemerintahan Prabowo–Gibran, Polri memiliki posisi strategis dalam memastikan bahwa setiap proses pembangunan berlangsung dalam koridor konstitusi dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Legitimasi Polri akan tumbuh dan berakar kuat jika hukum ditegakkan secara adil, keamanan dihadirkan tanpa menakutkan, dan masyarakat merasakan bahwa mereka benar-benar dilindungi serta dilibatkan secara setara. Polisi yang hadir bukan untuk menekan, tetapi untuk mendengar dan menyelesaikan persoalan secara manusiawi, akan lebih dihormati ketimbang yang tampil represif dalam simbol formal kekuasaan.

Di era digital dan disrupsi teknologi saat ini, transformasi kelembagaan Polri juga menjadi kebutuhan mendesak. Modernisasi teknologi – seperti digitalisasi pelayanan publik, pemanfaatan big data untuk prediksi kriminalitas, hingga penguatan cyber policing – harus diiringi oleh komitmen terhadap nilai humanisme dan etika profesi. Teknologi hanya akan menjadi alat yang bermakna jika digunakan dalam kerangka penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keadilan.

Dengan kombinasi antara reformasi struktural, transformasi kultural, dan integritas moral, Polri dapat menjelma sebagai institusi negara yang modern, responsif, dan demokratis. Momentum Hari Bhayangkara bukan hanya ajang memperingati kelahiran institusi, melainkan menjadi titik tolak transformasi menuju Polri masa depan: pelindung rakyat, penjaga keadilan, dan pilar demokrasi yang berintegritas. Kepercayaan publik bukan dibangun dari simbol dan seragam, melainkan dari tindakan nyata yang menunjukkan keberpihakan kepada keadilan, kemanusiaan, dan kepentingan bangsa.

Momentum Evaluasi Nasional 

Hari Bhayangkara bukan sekadar ajang seremonial tahunan, tetapi harus dimaknai sebagai momen evaluatif dan reflektif terhadap peran serta posisi strategis Polri dalam sistem ketatanegaraan dan demokrasi Indonesia. Di tengah dinamika zaman yang terus berubah, peringatan ini menjadi panggilan untuk melakukan pembaruan menyeluruh, baik secara kelembagaan, kultural, maupun profesional.

Dalam konteks delapan agenda prioritas pemerintahan Prabowo–Gibran (Astacita), Polri memiliki peluang besar untuk menjadi arsitek keamanan demokratis yang adaptif, humanis, dan inklusif. Namun peluang ini hanya akan bermakna jika dibarengi dengan keberanian untuk melakukan reformasi yang menyentuh akar persoalan: transformasi sistemik dan budaya kerja yang menjunjung nilai-nilai Pancasila dan supremasi hukum.

Pertama, legitimasi Polri tidak lagi cukup dibangun atas keberhasilan operasional semata. Kepercayaan publik hanya akan tumbuh jika institusi kepolisian melakukan reformasi pada aspek-aspek mendasar, seperti pemisahan fungsi keamanan dan penegakan hukum, perbaikan sistem rekrutmen, pelatihan berbasis HAM, serta manajemen karier yang menjunjung prinsip meritokrasi. Profesionalisme Polri harus disertai dengan integritas moral dan komitmen terhadap keadilan substantif.
Kedua, di era demokrasi modern, keterbukaan dan komunikasi publik menjadi keniscayaan. Polri harus menjadikan pengawasan masyarakat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai mekanisme korektif yang mendukung akuntabilitas. Paradigma kelembagaan harus bergeser dari sekadar institusi yang diawasi, menjadi institusi yang secara proaktif membuka diri untuk dikritisi dan dibenahi bersama.
Ketiga, Hari Bhayangkara harus dimaknai sebagai peneguhan arah baru kelembagaan Polri. Dalam kerangka pencapaian Astacita, Polri ditantang untuk menunjukkan keberpihakan nyata terhadap nilai-nilai konstitusional, seperti keadilan sosial, perlindungan HAM, dan penegakan hukum yang adil. Reformasi bukan sekadar wacana tambahan, tetapi syarat mutlak agar Polri tetap relevan dan dipercaya rakyat.

Dengan semangat seperti itu, Hari Bhayangkara bukan hanya menandai usia institusi, tetapi menjadi ruang untuk menata ulang jati diri Polri, sebagai pelindung rakyat, penegak keadilan, dan penjaga demokrasi. Ketika hukum ditegakkan secara adil, keamanan hadir tanpa intimidasi, dan masyarakat dilibatkan secara setara, maka legitimasi Polri akan tumbuh dari bawah – dari hati dan kesadaran rakyat – bukan semata-mata dari otoritas formal. Di saat rakyat melihat kehadiran polisi sebagai pelindung yang menyelesaikan persoalan dengan adil dan manusiawi, di situlah kepercayaan tumbuh sebagai modal sosial yang paling berharga. Dan dari kepercayaan itulah, Polri akan menemukan tempat terhormatnya dalam perjalanan bangsa Indonesia ke depan.