oleh

Harga Minyak Subsidi di Nunukan Jauh dari HET, Konektivitas Wilayah Jadi Faktor Utama

NUNUKAN – Harga minyak goreng bersubsidi di Kabupaten Nunukan masih jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp15.700 per liter. Meski stok di gudang dinyatakan aman, distribusi yang panjang dan biaya transportasi mahal membuat harga di tingkat pengecer mengalami lonjakan drastis.

Kabid Perdagangan Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan (DKUKMPP) Nunukan, Dior, menyampaikan bahwa pasokan minyak subsidi sebenarnya cukup tersedia dan tidak ada tanda kelangkaan. Namun, jalur distribusi dari Tarakan ke Nunukan hingga ke Sebatik dan Seimenggaris membutuhkan biaya besar karena keterbatasan sarana transportasi.

“Di pulau Nunukan sendiri harga minyak kita rata-rata Rp19.000 per liter, sedangkan di Sebatik bisa tembus Rp20.000. Stok ada, tapi ongkos distribusi jadi kendala utama,” ujar Dior pada Sabtu 17 September 2025.

Ia menjelaskan, kondisi geografis dan minimnya konektivitas wilayah memperberat biaya pengiriman. Jalan yang belum memadai serta akses logistik terbatas menjadi faktor klasik yang selama ini membebani harga kebutuhan pokok di perbatasan.

“Selama ongkos angkut tidak bisa ditekan, sulit sekali harga minyak subsidi sesuai HET. Ini masalah lama yang sampai sekarang belum tuntas,” tambah Dior.

Situasi ini juga membuat masyarakat perbatasan lebih memilih minyak goreng asal Malaysia yang dijual sekitar Rp18.000 per liter, lebih murah dibanding minyak subsidi pemerintah. Akibatnya, sebagian stok subsidi tidak terserap maksimal dan menumpuk di gudang.

Selain masalah ongkos distribusi, Dior menyinggung pengawasan yang masih terbatas. Sepanjang 2025, DKUKMPP baru sekali melakukan sidak karena keterbatasan sumber daya manusia, sehingga potensi disparitas harga di pengecer sulit dikendalikan.

Ia menegaskan, pemerintah pusat perlu memberi perhatian lebih dengan memperbaiki sistem distribusi dan infrastruktur di perbatasan. “Kalau jalur distribusi lancar dan biaya transportasi bisa ditekan, harga minyak subsidi bisa lebih mendekati HET, dan masyarakat tidak lagi tergantung pada minyak impor Malaysia,” pungkasnya.

Di sisi lain, pengawasan distribusi masih belum maksimal. Sepanjang 2025, Disperindagkop baru sekali melakukan sidak. Dior menyebut, keterbatasan sumber daya manusia, khususnya pejabat fungsional, menjadi kendala sehingga pengawasan tidak bisa dilakukan secara rutin. Kondisi ini membuka peluang perbedaan harga di tingkat pengecer dan rawan penyimpangan.

Fakta lain yang mencuat, masyarakat perbatasan justru lebih banyak membeli minyak goreng asal Malaysia yang dijual lebih murah, sekitar Rp18.000 per liter. Akibatnya, sebagian minyak subsidi pemerintah kurang diminati dan mandek di gudang. Padahal sebelumnya, minyak subsidi sempat lebih murah dari minyak impor, sehingga lebih laris di pasaran.

Dior menegaskan, pihaknya berharap ada langkah konkret dari pemerintah pusat untuk memperbaiki distribusi di wilayah perbatasan. Menurutnya, selain pemberian kewenangan lebih besar kepada daerah, peningkatan konektivitas wilayah juga menjadi kunci agar ongkos transportasi bisa ditekan.

“Kami berharap ke depan ada kebijakan yang lebih berpihak pada kondisi perbatasan. Kalau distribusi lancar dan biaya angkut turun, harga minyak subsidi bisa mendekati HET dan masyarakat tidak lagi bergantung pada minyak impor Malaysia,” pungkasnya.

Penulis: Ryan Rivaldy | Editor: Akbar

News Feed